Di antara
kesunyian,..
Aroma tanah
saat butiran hujan terjatuh..
Hingga angin
dingin yang menerpa wajah dan membelai kulit,..
Kesepian itu
seolah semakin menenggelamkan,..
Hanyut dalam
dunia yang terasa lebih baik atau mungkin mencoba merasa lebih baik,..
Daun-daun
yang bergerak dari ranting rapuh seolah ingin terbebas, berlari pergi
menjelajah angin dan apakah dia termasuk di dalamnya,..
Rapuh dan
ingin terbebas…
_Alexis_
***
Aroma campuran espresso dan susu
yang menghasilkan cappuccino tercium jelas oleh seorang gadis
berseragam. ALEXIS, gadis berwajah
cantik dengan rambut sedikit ikal itu memejamkan mata sejenak. Matanya terbuka
dan ia bisa langsung melihat sebuah gelas kertas berisi cappuccino mengepul
kini di arahkan padanya.“Cappuccino,”Mendengar suara berat itu, alex
mengangkat wajah dan langsung bertatapan dengan mata hitam tajam Nicki -pria
yang ia kenal beberapa minggu lalu saat menghabiskan waktu untuk duduk di
tamandekat rumahnya.yang kini tersenyum ramah. Dan dia tidak cukup bisa
memahami apa yang dirasakan saat mata hitam di hadapannya kini selalu bisa
membuatnya terdiam dengan wajah bodoh.Karena Alex tetap bergeming,
Nicki meraih tangan Alex dan meletakan gelas kertas yang disodorkan tadi. Tapi
Alex langsung tersentak dan hampir membuat cappuccino hangat itu jatuh
di tangan putihnya jika saja Niki tidak menggenggam kedua tangan Alex agar
tetap memegang gelas kertas tersebut.Udara dingin bahkan terlihat
mendung di atas langit tidak membuat Alex kedinginan, gadis berusia 18 tahun
itu merasa pipinya memanas. Selama beberapa detik karena Nicki belum juga
menarik tangan. “Jangan sampai terjatuh lagi, jika tidak tanganmu akan sakit,”
katanya ringan lalu duduk di samping Alex saat ia merasa gadis itu sudah bisa
memegang gelas kertas itu dengan benar.“makasih,kak nicki.”
Alex tersenyum kaku. Menggenggam gelas kertas itu dengan kedua tangan. Sesaat
ia mendesah pelan ketika kehangatan cappuccino di dalam gelas kertas
menjalari ujung jari dan tangannya.“Menunggu hujan lagi?” tanya
Nicki sambil menyesap cappuccino miliknya. Tersenyum tipis melihat
orang-orang yang ada di taman itu tengah bersiap meninggalkan tempat ini.“Ya, tentu saja. Aku tidak ingin
melewatkan hujan-hujan terakhir bulan ini,” gumam Alex dan mengadah. Menatap
lengit gelap yang kini menutupi kota jakarta. “Apa musim dingin nanti tidak akan ada
hujan? Aku tidak suka jika tidak ada hujan.”“Kau tidak takut sakit? Jika
ketahuan bermain hujan terus kau bisa-bisa dimarahi,” Nicki menoleh ke arah
Alex. Melihat gadis yang menatap langit dengan mata terpejam dan ia bisa
melihat gadis itu menghela napas panjang seolah ada beban berat yang dirasakan…
tapi bagaimana bisa? Gadis usia belasan tahun seperti Alex yang terlihat
baik-baik saja memiliki masalah berat.“Tidak,” alex menghela napas lagi
dan menatap kepulan asap dari cappuccino miliknya. “Mereka terlalu
sibuk dengan urusan sendiri.”Nicki terdiam untuk sesaat. Kali
ini ia tahu jika Alex mungkin saja salah satu dari sekian banyak anak yang
kurang perhatian orangtua karena kesibukan pekerjaan. “Mereka pasti
mengkawatirkanmu,” kata Nicki lalu mengusap kepala Alex, tersenyum dan
meletakan gelas keratas miliknya. “Bagaimana jika ikut dengan kakak ke
suatu tempat, kau mau?”Alex mengangkat kepalanya.
Beberapa detik terlewatkan, gadis itu hanya bisa memandang Nicki. Hatinya
kembali merasakan perasaan aneh, sesuatu yang tidak pernah ia rasakan pada pria
lain atau bahkan teman-teman prianya. Ada yang berbeda dan ia belum bisa
meyakini apa yang kini dirasakan, terlebih Nicki terpaut usia jauh di atasnya.“Bagaimana?”“Ah, ya.” Jawab Alex
mengangguk dan detik berikutnya ia terpaku melihat uluran telapak tangan Nicki
yang mengarah padanya.“ayo,” Nicki meraih
tangan Alex, menggenggam ringan tangan dingin gadis itu.***Ada beberapa hal yang mungkin
saja tidak pernah Alex pikirkan. Semua terlalu mudah ia dapatkan tanpa perlu
bersusah payah terlebih dulu. Keluarga kakNicki memiliki banyak anak perusahaan
yang bergerak pada bidang properti sudah lebih dari cukup membuat anak tunggal
seperti dirinya hanya perlu duduk manis.Hampir tiga puluh menit Alex
hanya terdiam di sudut kafe Greenday. Sebuah kafe yang cukup ramai pengunjung, mungkin karena letak dan
pegawai kafe ini cukup ramah.
Alex memandang berkeliling dan merasa seolah-olah ia sendiri. Di sekitarnya terlihat para pegawai kafe yang sibuk dengan tugas mereka masing-masing, berjalan cepat dari satu tempat ke tempat lain, memberikan pesanan, mengambil bekas pesanan, dan menyiapkan pesanan. Sebenarnya ia tidak terlalu pernah peduli tentang pegawai kafe atau restoran yang pernah dikunjungi, tapi kali ini mata hitamnya tidak bisa lepas menatap satu objek yang membawanya ke tempat ini. Nicki Mantara, seorang pria berwajah tampan dengan sorot mata tajam. Ia sendiri baru tahu nama lengkap Nicki saat tiba di kafe ini karena pria yang terpaut usia jauh di atasnya itu hanya memberikan nama panggilan.“maaf membuatmu sendiri.”Alex menoleh dan melihat Nicki mengusap kepalanya seolah ini adalah kegiatan yang paling pria itu sukai beberapa hari terakhir. Dan untuk beberapa detik sentuhan tangan Nicki di kepalanya membuat darah mengalir di pipinya. “gak papa kok kak..,”“Sepertinya hujan membawa keberuntungan.” Nicki menghadap kaca jendela kafe, menatap jalan yang ada di sampingnya. Jalanan cukup ramai sekalipun hujan tengah mengguyur kota jakarta, orang-orang dengan payung dan jaket tebal berbagai macam merek berjalan cepat agar segera bisa sampai tujuan dan mobil-mobil berseliweran di jalan raya seolah tidak ada habisnya. Pemandangan yang sangat bisa tapi selalu membuatnya tertarik.“Apa kakak juga suka hujan?” tanya Alex, mengikuti arah pandang Nicki.“Mungkin,” jawab Nicki terdengar sedikit ragu. “Kuberitahu satu hal lex.., sesuatu yang kau sukai tidak hanya bisa membuatmu senang tapi juga bisa membuatmu sedih bahkan…sakit,” lanjut Nicki. Tersenyum pahit dan menyandarkan punggungnya pada kursi.“Pengalaman pribadi, kakak?”Alis Nicki terangkat. “Apa?”Alex menggelengkan kepala, “Tidak,” sahut Alex cepat.Nicki tersenyum. Pria itu jelas tahu apa maksud Alex sebelumnya, hanya saja ia tidak ingin mengungkit masalah pribadi. “Sepertinya kita butuh minuman yang hangat.” Kata Nicki, lalu mengangkat tangannya dan berseru memanggil seorang pegawai yang tengah sibuk mengurus pelanggan.***Hampir setiap hari Alex berkunjung ke kafe, sekedar menghabiskan waktu sorenya dan terkadang membantu Nicki. Mungkin dia tidak bisa melakukan sesuatu yang berat, hanya sekedar menyapa para pelanggan dan memberikan pesanan untuk beberapa orang tapi itu sudah lebih dari cukup membuatnya sedikit merasa terhibur. Ada cukup banyak pelajaran yang ia dapat setelah memaksa Nicki mengizinkannya untuk membantu kafe, setidaknya ia menjadi tahu bagaimana lelah dan sulitnya bekerja. Selain itu dia baru menyadari jika Nicki tidak hanya ramah tapi juga mengerti dengan kesulitan para pegawainya, sehingga kerap kali membantu mereka menyelesaikan masalah. Tentu saja itu bukan satu-satunya point plus untuk Nicki karena pria itu selalu bisa membuatnya merasa nyaman.Alex menegakkan tubuh dan berjalan ke arah Nicki. “kakak, ada yang bisa kubantu lagi?”“Tidak perlu, ini sudah malam,” Nicki mengangkat dagunya, mengarah pada jendela yang menampakan langit gelap. “Aku antar pulang sekarang.”Langit memang sudah berubah gelap sejak satu jam yang lalu tapi Alex terlihat tidak peduli. Mendesah dan duduk kembali pada kursi. Alex menatap Nicki dengan pandangan sedih, “Bisakah aku tinggal lebih lama kak?…em, aku bosan.”“Bosan?”“Di rumah maksudku…” gumam Alex, memainkan jari-jarinya lalu menatap Nicki kembali. “Hanya beberapa jam lagi, bolehkah?” tanya Alex ragu.Nicki menarik napas panjang. Menarik sedikit sudut bibirnya. Ia selalu kalah jika Alex menatapnya dengan ekspresi seperti ini seolah gadis itu selalu membuatnya tidak punya pilihan lain. “Kukatakan tidak apa kau akan menuruti, kurasa tidak ada pilihan.”“Kau yang terbaik kak,” Alex berdiri dari duduknya, mengacungkan jempol di hadapan Nicki. Tersenyum dan mengecup singkat pipi pria itu, lalu berlari ke arah Ryan -salah satu pegawai kafe yang ia kenal- sambil menepuk kedua pipinya yang terasa panas. Ya Tuhan, kau gila AlexisNicki masih diam. Hanya menatap Alex yang kini sibuk membantu Ryan atau mengganggu pria berwajah manis itu. Mendadak saja perasaan itu muncul kembali saat melihat wajah Alex terlihat ceria. Hentikan pikiran bodohmu Nicki, batin Nicki dan melangkah ke arah beberapa pengunjung lain.Suara ringtone ponsel Alex membuat gadis yang sejak tadi mengekori Ryan hanya untuk menghilangkan kegugupannya karena nekat mecium pipi Nicki terdiam. Menarik napas dalam-dalam. Ia mendesah melihat nama yang tertera pada ponselnya. mama.“Kenapa tidak kau angkat?”Alex mengangkat wajahnya, melihat Ryan mencondongkan tubuh untuk melihat siapa yang menghubunginya hingga ia tidak juga mengangkat panggilan itu. Mendengus, alex berjalan menjauh dari Ryan.Wajah Alex berubah seketika mendengar ibunya di telepon. Ia tahu ibunya marah karena tidak juga ada di rumah saat langit berubah gelap. Sering kali Alex merasa tertekan karena orangtuanya terlalu berlebihan mengaturnya sedangkan mereka hampir tidak pernah bertemu saat malam hari. Alasan satu-satunya yang ia dapat hanya pekerjaan…tapi apa pekerjaan lebih penting dari anaknya?. Mereka selalu ingin dimengerti dan dituruti tapi apakah mereka tidak pernah mau mengerti akan apa yang ia inginkan?. Mungkin pertannyaan ini tidak akan pernah terjawab. Dan ia selalu ada di posisi memaklumi orangtuanya.“Saatnya pulang?” tanya Nicki yang entah sejak kapan berdiri di belakang Alex. Menepuk kepala gadis itu dan tersenyum.“kakak,” panggil Alek lirih dan terdiam sesaat. “Apa aku boleh kecewa pada mereka?”“Mereka hanya mengkhawatirkanmu,lex,” kata Nicki sekalipun ia tahu Alex berhak untuk kecewa.Tertawa hambar, Alex menatap Nicki sejenak. “Kau hanya bisa mengatakan itu bukan.” Alex mendesah berat dan mengambil tas yang ia letakan di meja dekat kasir, lalu berhenti tepat di hadapan Nicki, “Aku pulang sendiri saja.” Kata Alex dan berlalu begitu saja. Pikirannya terlalu kacau saat ini dan ia tidak ingin mendengar koaran ibunya jika ia pulang dengan seorang pria karena tentu saja satu-satunya alasan ibunya menelepon hanya ketika mereka lebih dulu ada di rumah.Untuk beberapa menit Nicki hanya bisa memandang kepergian Alex dengan helaan napas. Ia masih belum terlalu mengerti gadis itu, gadis yang ia angap sebagai adiknya sendiri atau lebih dari itu?. Ada sesuatu yang sepertinya di sembunyikan Alex, menutup rapat seolah tidak ingin ada yang tahu.“Jangan katakan kau suka dengan anak kecil seperti dirinya?” tanya pria bertubuh tinggi, ramping, dan berambut coklat yang baru saja tiba dengan kekasihnya. “kak? apa aku benar?” tanya pria itu lagi yang tidak juga mendapat jawaban.“Denis, jangan mengganggu kak Nicki.” Komentar gadis berwajah cantik yang berprofesi sebagai model itu.“Lihat Aya, kau jelas berpendapat sama sepertiku,” lanjut Denis dan bersedekap dengan senyum miring. “Bukan begitu kak ryan?” seru denis ke arah pria berwajah manis yang hanya memandang mereka sejak tadi.Denis Hermawan dan Ryan Diwangsyah memang selalu menebak isi pikirannya. Sahabat semasa sekolah dan kuliah dulu. Terkadang ia berpikir dua orang itu bisa membaca pikirannya dengan mudah atau mungkin saja karena jangka waktu persahabatan mereka sudah lebih dari cukup membuat mereka mengenal karakter masing-masing.“Apa kau gila? Jangan mengatakan yang tidak-tidak,” jawab Nicki pada akhirnya karena tidak bisa hanya diam saat mata hitam Denis yang tidak kalah tajam darinya terlihat mengintrogasi.Denis mengangkat bahu. “Kau tidak bisa menyembunyikan ini dari kami,” kata Denis dan mengamit tangan aya untuk duduk disalah satu kursi kosong seolah tidak peduli dengan wajah Nicki yang kini berubah. “kakak,” panggil Denis dan menatap pria itu dengan wajah serius. “Jangan hanya menatap kebelakang, kau harus melihat kedepan juga dan kupik-““Hentikan!” Tukas Nicki, menatap Denis dingin. “Aku mengerti,” lanjutnya dengan intonasi rendah dan pergi begitu saja. Kali ini ia ingin sendiri, mencoba memikirkan segala sesuatu yang mengganggu otaknya.***Hujan masih setia mengguyur kota Jakarta sejak sore tadi hingga malam. NIcki yang kini berdiri di depan jendela kamar apartemennya di lantai 13 dari gedung bertingkat 30 itu hanya memandang titikan air pada kaca. Perlahan ia memijit kening, mencoba meringankan pening di otaknya. Mungkin ia harus mulai berpikir tentang ucapan Denis ataupun Ryan. Gadis itu…Alexis..Apa benar ia menyukainya?. Perdebatan ini berlangsung sejak lima hari lalu saat dimana Alex tidak juga muncul setelah kejadian malam itu. Ia sendiri sudah mencoba pergi ke taman dekat rumah alex berharap bisa bertemu di sana tapi tidak ada tanda-tanda gadis itu datang hingga matahari terbenam. Satu-satunya tempat yang memungkinkan ia bisa bertemu dengan Alex hanya di rumahnya tapi ia lagi-lagi hanya bisa memandang bangunan megah rumah Alex tanpa menemukan keberanian untuk masuk.Nicki menutup mata. Menjatuhkan kening pada kaca jendela. Dinginnya kaca jendela akibat udara di luar sana membuat keningnya menjadi dingin tapi tidak cukup bisa meringankan pikirannya.Tiba-tiba ia mendengar suara bel apartemennya berbunyi. Dengan langkah berat ia berjalan ke pintu dan membukanya. Tubuhnya langsung membeku begitu melihat siapa yang berdiri di luar pintu. “alex,” gumamnya dan menarik Alex masuk karena terlihat menggigil dan basah kuyup.“Kenapa kau bisa seperti ini?” tanya Nicki, terdengar khawatir lalu mengambil sebuah handuk dari dalam kamarnya dengan cepat.“kakak,” gumam Alex, menyentuh lengan Nicki dan memeluk pria itu dengan erat. “Aku bosan..dan lelah.” Lanjut Alex kali ini dengan isakan kecil.Nicki terdiam. Masih mencerna situasi saat ini dan kedatangan gadis itu terlalu membuatnya terkejut. Dan ia tidak terlalu memikirkan bagaimana Alex bisa tahu apartemennya karena jelas saja gadis itu bisa langsung bertannya dengan Ryan tapi yang kini menjadi pikirannya kenapa Alex terlihat begitu…kacau?. Apa yang sebenarnya terjadi selama lima hari ini saat ia tidak pernah bertemu dengannya. “Istirahatlah dulu dan ganti pakaianmu…setelah itu kau bisa menceritakan semuanya.” Nicki mengangkat kedua tangannya, mengarahkan tangan kiri pada punggung Alex dan mengusap kepala gadis itu dengan tangan kanannya.Alex sudah lebih tenang ketika ia duduk pada sofa kamar Nicki setelah berganti baju dengan kemeja pria itu yang jelas kebesaran untuknya. Ia mengangkat kedua kakinya, memeluk tubuhnya sendiri dan menggigil. Matanya yang masih memerah bahkan sembab memandang ke sekeliling kamar NIcki dan matanya terhenti pada sebuah meja berisi beberapa buku serta bingkai foto. Satu bingkai foto.. hanya satu yang terlihat terpisah dengan yang lain itu membuatnya berdiri lalu mendekat ke meja. Air matanya jatuh kembali dan tidak bisa ia bendung.Tangan dingin Alex terulur, menyentuh foto tersebut dengan tangan bergetar. Tidak ada yang spesial dari foto itu, hanya ada dua orang duduk bersama dengan senyum mengembang tapi dua orang yang ada di sana membuat hentakan jantungnya semakin cepat dan kerongkongannya seolah tercekat. Ruangan yang semula membuatnya nyaman kini bagaikan ruangan tanpa celah membuat pasokan oksigen semakin menipis dan hilang.“alex,” panggilan Nicki membuat Alex tersentak dan kontan menjatuhkan bingkai foto di tangannya. “Apa yang ka-“ Nicki menghentikan ucapannya saat ia bisa melihat bingkai foto dirinya dengan Exsa/alexa yang kini sudah beristirahat dengan tenang- menjadi pecah bahkan ada beberapa kacanya berhambur di lantai.Alex jelas mendengar suara Nicki mendekat tapi ia lebih memilih duduk di antara pecahan kaca bingkai itu. Mengangkat bingkai foto yang kini rusak tanpa peduli jika pecahan kaca berserak di sekitarnya bisa melukai tangannya. Ia hanya ingin meyakinkan dirinya akan sosok gadis di dalam foto itu..hanya ingin meyakinkan dan ketika ia benar-benar tidak bisa membohongi diri sendiri bingkai itu kembali lolos dari tangannya. Terjatuh. Wajahnya memucat seketika. “kakak,”lirih Alex dan menatap Nicki yang duduk tepat di hadapannya.Satu kata yang terlontar dari bibir pucat Alex membuat pemikiran baru melintas begitu saja di otaknya. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia menyentuh tangan Alex namun dengan cepat gadis itu menepisnya. Jantunya serasa ditikam ketika ia melihat sosok Alex dengan tubuh gemetar sambil terisak. Ia jadi mengerti saat melihat kemiripan wajah Alex dengan Exsa, satu hal yang membuatnya tertarik bahkan tanpa ragu mendekati gadis itu walaupun masih berseragam, tapi bagaimana bisa?. Mungkin ia memang masih belum mengenal Alex karena ia sendiri hanya tahu gadis itu anak tunggal, bukan anak tunggal yang terjadi setelah satu-satunya saudara kandungnya meninggalkan dunia ini. Aroma tanah saat hujan turun, hujan, cappuccino…mereka memiliki kesukaan yang sama dan perlahan menariknya untuk lebih dekat dengan Alex. Dan ia harus menahan diri untuk tidak langsung menarik Alex ke dalam pelukannya seperti tadi. Sebagian kecil otaknya masih berfungsi mengingatkan dirinya bahwa Alex perlu waktu.“Jadi yang kakak maksud saat itu kau…bukan,” alex menggelengkan kepala dan mengerang frustasi detik berikutnya. “mama benar aku tidak seharusnya…menyukai kekasih Kakak.” Lirih Alex dan menangis keras saat ingatan ucapan ibunya beberapa hari lalu dan sejam yang lalu terbayang di otaknya.“Jangan ketempat itu lagi,” suara lembut ibunya menghentikan langkah Alex saat akan pergi ke kafe sore itu.“kenapa? Kenapa aku tidak boleh ke sana?” tanya Alex dan berbalik menatap ibunya yang kini menunjukan raut wajah..sedih?.“Mama katakan tidak ya tidak Alexis.”Alex tersentak mendengar bentakan ibunya dan ia tidak bisa menemukan kesalahan apa yang ia perbuat hanya karena pergi ke sebuah kafe. “kenapa? Berikan aku alasan yang jelas mama.. Kenapa sejak kemarin kalian menahanku untuk tidak ke kafe itu lagi?”“Jangan membuat mama marah. Sudah cukup.. kau tidak boleh berhubungan dengan orang itu lagi,”“siapa? Siapa maksud mama? aku tidak mengerti.” Desak Alex dan menatap ibunya dengan kening berkerut.“Cukup Alexis.” Tukas ibunya lalu berlalu begitu saja meninggalkannya seperti hari-hari sebelumnya.“Kau akan melanjutkan studimu di London, mama dan papa sudah menyiapkan semuanya.”Alex mengangkat wajahnya, menatap kedua orang tuanya. “London? Kenapa tiba-tiba? Bukankah aku sudah lulus di XXX University dan hanya menunggu kelulusan, lalu kenapa aku harus pergi ke London?”“Itu satu-satunya jalan,” ibunya berdiri dan diikuti ayahnya. “mama tahu apa yang kau kerjakan satu bulan ini alex. Dan mama tidak ingin kau terlalu jauh..”“Terlalu jauh apa? Kenapa aku selalu harus menuruti kemauan kalian.” Sentak Alex dan langsung mendapat tamparan dari ayahnya. Ia terdiam, tidak habis pikir ayahnya bisa melakukan ini padanya. “papa..”“Berhenti mendekatinya lagi.” Kali ini ayahnya ikut melarangannya.Nicki beringsut duduk dan menyandarkan diri pada meja di sampingnya. “Dunia memang sempit bukan?” tanya Nicki yang tentu saja tidak menginginkan jawaban di tengah keheningan ini. Suaranya terdengar serak karena ia sendiri berada di posisi yang sama dengan Alex walaupun mungkin gadis itu mendapat masalah lebih berat. “Kalian mirip…mungkin karena itu kau langsung menarik perhatianku,” Nicki tersenyum pahit. “Maaf. Apa kau mendapat masalah dengan orangtuamu? Mungkin mereka sudah melarangmu untuk bertemu denganku lagi. Bukankah seharusnya kau mendengar mereka?”“Dan untuk kata-katamu sebelumnya,” Nicki menoleh ke arah Alek, menatap gadis itu yang hanya menuduk dan terisak. “Maaf, karena membuatmu menyukaiku…tapi kau hanya harus mendengarkan ini alex..aku juga mencintaimu.”Alex mengangkat wajahnya, menatap Nicki yang memandangnya sedih. Apa ia tidak salah dengar? Apa Nicki baru saja mengatakan Cinta?.“Apa perlu ku ulang?” tanya Nicki melihat keraguan dari wajah Alex. “aku mencintaimu alexis…Kau tahu aku memikirkan ini selama tidak bertemu dengamu beberapa hari lalu, gadis kecil yang membuatku bingung tapi bisa membuatku lupa akan masalah-masalahku…Jangan berpikir aku menyukaimu karena kemiripan kalian, tidak Alex sekalipun kalian memiliki kemiripan tapi kau adalah kau dan dia adalah dia, kalian tetap berbeda,” Nicki memberikan jeda untuk ucapannya, menatap Alex dan menarik tangan gadis itu untuk mendekat ke arahnya. “Tidak apa-apa,” bisik Nicki, lalu merangkulnya. “Aku hanya ingin kau tahu jika perasaanmu tidak bertepuk sebelah tangan…”“Mungkin aku salah sudah menyukaimu kak tapi kenapa mereka sampai ingin menjauhiku darimu.. aku masih tidak mengerti..Apa aku salah menyukai pria yang ternyata mantan pacar kakakku?”“Tidak Alex kau tidak salah sama sekali…mereka mungkin masih berpikir aku secara tidak langsung yang membuat Exsa hari itu kecelakaan-““Bagaimana bisa? Setahuku malam itu kakakku terburu-buru pergi ke bandara untuk menjemput sesorang walaupun hujan tengah turun deras,” Alex mengerejapkan mata, ia mengerti sekarang. Seseorang yang ingin kakanya temui saat itu adalah Nicki tapi kepergian kakanya menjadi malapetaka karena terlibat tabrakan beruntun dan hal ini menjadi salah satu pemicu orangtuanya terlalu mengekangnya.“Kau benar. Exsa ingin menjemputku saat itu karena ia lebih dulu pulang dari Jepang,” Nicki menghela napas berat, menatap kosong ke depan. “Aku sendiri sudah melarang Exsa tapi seperti yang kau tahu ia memiliki sifat keras kepala sepertimu. Dan saat aku mengetahui kepergian Exsa kalian sudah pindah rumah..mungkin Tuhan sengaja mempertemukan kita untuk disaat yang berbeda, kau bukan adik pacarku melainkan seorang gadis penyuka hujan.”Alex mengangguk, sangat mengerti dengan ucapan Nicki. Lalu, dimana letak kesalahan pria itu? Kenapa orangtuannya tidak bisa menerima kepergian saudaranya setelah beberapa tahun terlewatkan, bukankah kematian tidak bisa dicegah dan dimana ucapan yang selama ini ditanamkan orangtuannya tentang saling memaafkan sekalipun disini Nicki tidak salah. “Apa yang harus kita lakukan kakak? Aku tidak ingin pergi.”“Turuti apa kata orangtuamu alex mereka hanya ingin yang terbaik, lagipula kita terpaut usia cukup jauh..jika tidak sebagai pasangan, kau bisa menjadi adik-”“Tidak,” Alex menggenggam erat lengang Nicki, menatap pria itu lekat. “Jangan menganggapku sebagai anak kecil, aku sudah cukup mengerti semuanya.”Nicki tertawa kecil, lalu menepuk kepala Alex. “Terlalu banyak hal yang belum kau mengerti Alex”Sebelum Alex sempat membuka mulut, Nicki cepat-cepat menambahkan, “Kau akan mengerti setelah pemikiranmu cukup matang.” Ia berhenti sejenak, lalu menoleh ke arah Alex, “Jika kau tetap bersikeras, aku bisa menawarkan satu hal.”“Apa?”“Aku akan menunggumu saat kembali, mungkin kedua orangtuamu butuh waktu untuk berpikir. Jadi?”Alex mengerjap satu kali, seolah-olah ia masih tidak menyangka Nicki mengatakan hal yang cukup manis menurutnya..pria itu mau menunggunya. Perlahan ia menghembuskan napas, bukan karena lelah tapi lebih kepada merasa sedikit mendapat angin segar hanya dengan ucapan Nicki. “Em, kupikir mereka memang butuh waktu, tapi apa kau tidak takut jika aku melupakanmu di sana Kakak?”Nicki tersenyum. “Bukankah sebaliknya?”“Apa maksud kakak? Sebaliknya?”Kali ini Nicki tidak bisa menyembunyikan tawanya. “Kau memang masih kecil,”“Ya! Aku sudah besar kak,” kata Alex tidak terima.“Yah,” Nicki mengangguk dan menarik bahu Alex lebih dekat. Ia terdiam sejenak, melihat wajah gadis itu yang terlihat pucat walaupun kini tidak ada tangis lagi. Perlahan ia mengusap sisa-sisa air mata Alex, “Jangan menangis lagi setelah ini,” kata Nicki pelan dan menunduk untuk mencium kening Alex dalam.Alex membuka mata dan mendongak saat ia tanpa sadar menutup matanya begitu Nicki mencium keningnya. Semburat merah tercipta di kedua pipi putih dan hentakan jantungnya mungkin saja terdengar hingga ketelinga Nicki tapi ia memilih untuk tidak peduli. Dia menyentuh pipi Nicki lembut, menatap kesempurnaan wajah pria itu. “trimakasih karena sudah mengenalmu kakak.”Sejenak mereka terdiam tanpa berkedip. Hening. Seolah waktu berhenti saat ini juga dan Nicki tidak bisa menahan diri lagi untuk menarik punggung Alex mendekat ke arahnya lalu memeluk gadis itu lama.
“Ya! Aku bukan anak kecil.”Langit kota Jakarta terlihat mendung, tidak menampakan sedikitpun kata bersahabat tapi Nicki memilih untuk tetap dian di bangku di sebuah taman. Peper bag berisi Lollipop berbagai macam rasa membuat senyum tipis terukir di bibirnya.“Ini untukku bukan?”Nicki mengangkat wajahnya, mengamati Alexis yang berdiri di hadapannya dengan senyum mengembang. Apakah hanya perasaannya saja atau apakah gadis itu memang benar-benar Alex yang ia kenal tiga tahun lalu?.“Kau menepati janjimu kak,” alex menunduk dan mengecup pipi Nicki cepat. “Aku merindukanmu, sungguh.”Nicki berdeham pelan. “London banyak merubahmu.” Ia tersenyum singkat. Lalu menarik Alex untuk duduk bersamanya. “Biar kutebak, kau langsung ke taman ini setelah sampai di Kota ini bukan?. Gadis nakal, seharusnya kau bertemu dengan orangtuamu dulu.”Alex terkekeh, menjatuhkan kepalanya di bahu Nicki. “Aku lebih rindu padamu kakak, kau sendiri yang salah tidak pernah menjengukku di London,”“Dan kau akan merengek untuk ikut pulang bersamaku.” Kata Nicki dan mengusap kepala Alex. “Ku antar pulang sekarang. Seharusnya kau meletakan setumpuk kopermu itu dulu di rumah.”“kakak aku jadi penasaran bagaimana kau bisa membuat orangtuaku mengizinkan kita pacaran.” Alex mendongak dan menemukan Nicki hanya tersenyum. Kedua orangtuannya memang sudah tidak melarang ia berhubangan dengan Nicki lagi sejak satu tahun lalu, tepatnya saat ia masih kuliah di London. Mungkin yang Nicki katakan benar tentang kedua orangtuannya butuh waktu untuk menerima hubungan mereka dan melupakan masalah kakaknya.“Bukankah sudah pernah kukatakan, mereka hanya perlu waktu.” NIcki berdiri. Meraih tangan Alex, membantu gadis itu untuk berdiri. “ayo,”“Tunggu. Lollipopku.” Seru Alex dan mengambil peper bag yang ada di kursi kayu itu.“Sebenarnya kau lebih menginginkan Lollipop itu atau bertemu denganku, Alexis?” tanya Nicki, menggelengkan kepala melihat mata Alex berbinar memandang peper bag berisi banyak lollipop.“Bodoh,”“Bodoh?” ulang Nicki, sedikit mengangkat alisnya.“Ne, kakak bodoh. Mana bisa lollipop dibandingankan denganmu. Sekalipun aku diminta memilih seribu lollipop atau denganmu…tidak perlu berpikir dua kali untuk-““Memilihku,” sela Nicki dan mengacak rambut Alex. “Gadis kecil yang pintar.”“Ya! Aku bukan anak kecil lagi, sudah kukatakan berapa kali.”
END
***“Apa yang kau inginkan saat kita bertemu lagi?”“Sekantong Lollipop,”“Lollipop?”“Kuberitahu kakak. Aku memang menyukai cappuccino tapi tidak lebih besar dari Lollipop.”“Kau memang anak kecil,”
Alex memandang berkeliling dan merasa seolah-olah ia sendiri. Di sekitarnya terlihat para pegawai kafe yang sibuk dengan tugas mereka masing-masing, berjalan cepat dari satu tempat ke tempat lain, memberikan pesanan, mengambil bekas pesanan, dan menyiapkan pesanan. Sebenarnya ia tidak terlalu pernah peduli tentang pegawai kafe atau restoran yang pernah dikunjungi, tapi kali ini mata hitamnya tidak bisa lepas menatap satu objek yang membawanya ke tempat ini. Nicki Mantara, seorang pria berwajah tampan dengan sorot mata tajam. Ia sendiri baru tahu nama lengkap Nicki saat tiba di kafe ini karena pria yang terpaut usia jauh di atasnya itu hanya memberikan nama panggilan.“maaf membuatmu sendiri.”Alex menoleh dan melihat Nicki mengusap kepalanya seolah ini adalah kegiatan yang paling pria itu sukai beberapa hari terakhir. Dan untuk beberapa detik sentuhan tangan Nicki di kepalanya membuat darah mengalir di pipinya. “gak papa kok kak..,”“Sepertinya hujan membawa keberuntungan.” Nicki menghadap kaca jendela kafe, menatap jalan yang ada di sampingnya. Jalanan cukup ramai sekalipun hujan tengah mengguyur kota jakarta, orang-orang dengan payung dan jaket tebal berbagai macam merek berjalan cepat agar segera bisa sampai tujuan dan mobil-mobil berseliweran di jalan raya seolah tidak ada habisnya. Pemandangan yang sangat bisa tapi selalu membuatnya tertarik.“Apa kakak juga suka hujan?” tanya Alex, mengikuti arah pandang Nicki.“Mungkin,” jawab Nicki terdengar sedikit ragu. “Kuberitahu satu hal lex.., sesuatu yang kau sukai tidak hanya bisa membuatmu senang tapi juga bisa membuatmu sedih bahkan…sakit,” lanjut Nicki. Tersenyum pahit dan menyandarkan punggungnya pada kursi.“Pengalaman pribadi, kakak?”Alis Nicki terangkat. “Apa?”Alex menggelengkan kepala, “Tidak,” sahut Alex cepat.Nicki tersenyum. Pria itu jelas tahu apa maksud Alex sebelumnya, hanya saja ia tidak ingin mengungkit masalah pribadi. “Sepertinya kita butuh minuman yang hangat.” Kata Nicki, lalu mengangkat tangannya dan berseru memanggil seorang pegawai yang tengah sibuk mengurus pelanggan.***Hampir setiap hari Alex berkunjung ke kafe, sekedar menghabiskan waktu sorenya dan terkadang membantu Nicki. Mungkin dia tidak bisa melakukan sesuatu yang berat, hanya sekedar menyapa para pelanggan dan memberikan pesanan untuk beberapa orang tapi itu sudah lebih dari cukup membuatnya sedikit merasa terhibur. Ada cukup banyak pelajaran yang ia dapat setelah memaksa Nicki mengizinkannya untuk membantu kafe, setidaknya ia menjadi tahu bagaimana lelah dan sulitnya bekerja. Selain itu dia baru menyadari jika Nicki tidak hanya ramah tapi juga mengerti dengan kesulitan para pegawainya, sehingga kerap kali membantu mereka menyelesaikan masalah. Tentu saja itu bukan satu-satunya point plus untuk Nicki karena pria itu selalu bisa membuatnya merasa nyaman.Alex menegakkan tubuh dan berjalan ke arah Nicki. “kakak, ada yang bisa kubantu lagi?”“Tidak perlu, ini sudah malam,” Nicki mengangkat dagunya, mengarah pada jendela yang menampakan langit gelap. “Aku antar pulang sekarang.”Langit memang sudah berubah gelap sejak satu jam yang lalu tapi Alex terlihat tidak peduli. Mendesah dan duduk kembali pada kursi. Alex menatap Nicki dengan pandangan sedih, “Bisakah aku tinggal lebih lama kak?…em, aku bosan.”“Bosan?”“Di rumah maksudku…” gumam Alex, memainkan jari-jarinya lalu menatap Nicki kembali. “Hanya beberapa jam lagi, bolehkah?” tanya Alex ragu.Nicki menarik napas panjang. Menarik sedikit sudut bibirnya. Ia selalu kalah jika Alex menatapnya dengan ekspresi seperti ini seolah gadis itu selalu membuatnya tidak punya pilihan lain. “Kukatakan tidak apa kau akan menuruti, kurasa tidak ada pilihan.”“Kau yang terbaik kak,” Alex berdiri dari duduknya, mengacungkan jempol di hadapan Nicki. Tersenyum dan mengecup singkat pipi pria itu, lalu berlari ke arah Ryan -salah satu pegawai kafe yang ia kenal- sambil menepuk kedua pipinya yang terasa panas. Ya Tuhan, kau gila AlexisNicki masih diam. Hanya menatap Alex yang kini sibuk membantu Ryan atau mengganggu pria berwajah manis itu. Mendadak saja perasaan itu muncul kembali saat melihat wajah Alex terlihat ceria. Hentikan pikiran bodohmu Nicki, batin Nicki dan melangkah ke arah beberapa pengunjung lain.Suara ringtone ponsel Alex membuat gadis yang sejak tadi mengekori Ryan hanya untuk menghilangkan kegugupannya karena nekat mecium pipi Nicki terdiam. Menarik napas dalam-dalam. Ia mendesah melihat nama yang tertera pada ponselnya. mama.“Kenapa tidak kau angkat?”Alex mengangkat wajahnya, melihat Ryan mencondongkan tubuh untuk melihat siapa yang menghubunginya hingga ia tidak juga mengangkat panggilan itu. Mendengus, alex berjalan menjauh dari Ryan.Wajah Alex berubah seketika mendengar ibunya di telepon. Ia tahu ibunya marah karena tidak juga ada di rumah saat langit berubah gelap. Sering kali Alex merasa tertekan karena orangtuanya terlalu berlebihan mengaturnya sedangkan mereka hampir tidak pernah bertemu saat malam hari. Alasan satu-satunya yang ia dapat hanya pekerjaan…tapi apa pekerjaan lebih penting dari anaknya?. Mereka selalu ingin dimengerti dan dituruti tapi apakah mereka tidak pernah mau mengerti akan apa yang ia inginkan?. Mungkin pertannyaan ini tidak akan pernah terjawab. Dan ia selalu ada di posisi memaklumi orangtuanya.“Saatnya pulang?” tanya Nicki yang entah sejak kapan berdiri di belakang Alex. Menepuk kepala gadis itu dan tersenyum.“kakak,” panggil Alek lirih dan terdiam sesaat. “Apa aku boleh kecewa pada mereka?”“Mereka hanya mengkhawatirkanmu,lex,” kata Nicki sekalipun ia tahu Alex berhak untuk kecewa.Tertawa hambar, Alex menatap Nicki sejenak. “Kau hanya bisa mengatakan itu bukan.” Alex mendesah berat dan mengambil tas yang ia letakan di meja dekat kasir, lalu berhenti tepat di hadapan Nicki, “Aku pulang sendiri saja.” Kata Alex dan berlalu begitu saja. Pikirannya terlalu kacau saat ini dan ia tidak ingin mendengar koaran ibunya jika ia pulang dengan seorang pria karena tentu saja satu-satunya alasan ibunya menelepon hanya ketika mereka lebih dulu ada di rumah.Untuk beberapa menit Nicki hanya bisa memandang kepergian Alex dengan helaan napas. Ia masih belum terlalu mengerti gadis itu, gadis yang ia angap sebagai adiknya sendiri atau lebih dari itu?. Ada sesuatu yang sepertinya di sembunyikan Alex, menutup rapat seolah tidak ingin ada yang tahu.“Jangan katakan kau suka dengan anak kecil seperti dirinya?” tanya pria bertubuh tinggi, ramping, dan berambut coklat yang baru saja tiba dengan kekasihnya. “kak? apa aku benar?” tanya pria itu lagi yang tidak juga mendapat jawaban.“Denis, jangan mengganggu kak Nicki.” Komentar gadis berwajah cantik yang berprofesi sebagai model itu.“Lihat Aya, kau jelas berpendapat sama sepertiku,” lanjut Denis dan bersedekap dengan senyum miring. “Bukan begitu kak ryan?” seru denis ke arah pria berwajah manis yang hanya memandang mereka sejak tadi.Denis Hermawan dan Ryan Diwangsyah memang selalu menebak isi pikirannya. Sahabat semasa sekolah dan kuliah dulu. Terkadang ia berpikir dua orang itu bisa membaca pikirannya dengan mudah atau mungkin saja karena jangka waktu persahabatan mereka sudah lebih dari cukup membuat mereka mengenal karakter masing-masing.“Apa kau gila? Jangan mengatakan yang tidak-tidak,” jawab Nicki pada akhirnya karena tidak bisa hanya diam saat mata hitam Denis yang tidak kalah tajam darinya terlihat mengintrogasi.Denis mengangkat bahu. “Kau tidak bisa menyembunyikan ini dari kami,” kata Denis dan mengamit tangan aya untuk duduk disalah satu kursi kosong seolah tidak peduli dengan wajah Nicki yang kini berubah. “kakak,” panggil Denis dan menatap pria itu dengan wajah serius. “Jangan hanya menatap kebelakang, kau harus melihat kedepan juga dan kupik-““Hentikan!” Tukas Nicki, menatap Denis dingin. “Aku mengerti,” lanjutnya dengan intonasi rendah dan pergi begitu saja. Kali ini ia ingin sendiri, mencoba memikirkan segala sesuatu yang mengganggu otaknya.***Hujan masih setia mengguyur kota Jakarta sejak sore tadi hingga malam. NIcki yang kini berdiri di depan jendela kamar apartemennya di lantai 13 dari gedung bertingkat 30 itu hanya memandang titikan air pada kaca. Perlahan ia memijit kening, mencoba meringankan pening di otaknya. Mungkin ia harus mulai berpikir tentang ucapan Denis ataupun Ryan. Gadis itu…Alexis..Apa benar ia menyukainya?. Perdebatan ini berlangsung sejak lima hari lalu saat dimana Alex tidak juga muncul setelah kejadian malam itu. Ia sendiri sudah mencoba pergi ke taman dekat rumah alex berharap bisa bertemu di sana tapi tidak ada tanda-tanda gadis itu datang hingga matahari terbenam. Satu-satunya tempat yang memungkinkan ia bisa bertemu dengan Alex hanya di rumahnya tapi ia lagi-lagi hanya bisa memandang bangunan megah rumah Alex tanpa menemukan keberanian untuk masuk.Nicki menutup mata. Menjatuhkan kening pada kaca jendela. Dinginnya kaca jendela akibat udara di luar sana membuat keningnya menjadi dingin tapi tidak cukup bisa meringankan pikirannya.Tiba-tiba ia mendengar suara bel apartemennya berbunyi. Dengan langkah berat ia berjalan ke pintu dan membukanya. Tubuhnya langsung membeku begitu melihat siapa yang berdiri di luar pintu. “alex,” gumamnya dan menarik Alex masuk karena terlihat menggigil dan basah kuyup.“Kenapa kau bisa seperti ini?” tanya Nicki, terdengar khawatir lalu mengambil sebuah handuk dari dalam kamarnya dengan cepat.“kakak,” gumam Alex, menyentuh lengan Nicki dan memeluk pria itu dengan erat. “Aku bosan..dan lelah.” Lanjut Alex kali ini dengan isakan kecil.Nicki terdiam. Masih mencerna situasi saat ini dan kedatangan gadis itu terlalu membuatnya terkejut. Dan ia tidak terlalu memikirkan bagaimana Alex bisa tahu apartemennya karena jelas saja gadis itu bisa langsung bertannya dengan Ryan tapi yang kini menjadi pikirannya kenapa Alex terlihat begitu…kacau?. Apa yang sebenarnya terjadi selama lima hari ini saat ia tidak pernah bertemu dengannya. “Istirahatlah dulu dan ganti pakaianmu…setelah itu kau bisa menceritakan semuanya.” Nicki mengangkat kedua tangannya, mengarahkan tangan kiri pada punggung Alex dan mengusap kepala gadis itu dengan tangan kanannya.Alex sudah lebih tenang ketika ia duduk pada sofa kamar Nicki setelah berganti baju dengan kemeja pria itu yang jelas kebesaran untuknya. Ia mengangkat kedua kakinya, memeluk tubuhnya sendiri dan menggigil. Matanya yang masih memerah bahkan sembab memandang ke sekeliling kamar NIcki dan matanya terhenti pada sebuah meja berisi beberapa buku serta bingkai foto. Satu bingkai foto.. hanya satu yang terlihat terpisah dengan yang lain itu membuatnya berdiri lalu mendekat ke meja. Air matanya jatuh kembali dan tidak bisa ia bendung.Tangan dingin Alex terulur, menyentuh foto tersebut dengan tangan bergetar. Tidak ada yang spesial dari foto itu, hanya ada dua orang duduk bersama dengan senyum mengembang tapi dua orang yang ada di sana membuat hentakan jantungnya semakin cepat dan kerongkongannya seolah tercekat. Ruangan yang semula membuatnya nyaman kini bagaikan ruangan tanpa celah membuat pasokan oksigen semakin menipis dan hilang.“alex,” panggilan Nicki membuat Alex tersentak dan kontan menjatuhkan bingkai foto di tangannya. “Apa yang ka-“ Nicki menghentikan ucapannya saat ia bisa melihat bingkai foto dirinya dengan Exsa/alexa yang kini sudah beristirahat dengan tenang- menjadi pecah bahkan ada beberapa kacanya berhambur di lantai.Alex jelas mendengar suara Nicki mendekat tapi ia lebih memilih duduk di antara pecahan kaca bingkai itu. Mengangkat bingkai foto yang kini rusak tanpa peduli jika pecahan kaca berserak di sekitarnya bisa melukai tangannya. Ia hanya ingin meyakinkan dirinya akan sosok gadis di dalam foto itu..hanya ingin meyakinkan dan ketika ia benar-benar tidak bisa membohongi diri sendiri bingkai itu kembali lolos dari tangannya. Terjatuh. Wajahnya memucat seketika. “kakak,”lirih Alex dan menatap Nicki yang duduk tepat di hadapannya.Satu kata yang terlontar dari bibir pucat Alex membuat pemikiran baru melintas begitu saja di otaknya. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia menyentuh tangan Alex namun dengan cepat gadis itu menepisnya. Jantunya serasa ditikam ketika ia melihat sosok Alex dengan tubuh gemetar sambil terisak. Ia jadi mengerti saat melihat kemiripan wajah Alex dengan Exsa, satu hal yang membuatnya tertarik bahkan tanpa ragu mendekati gadis itu walaupun masih berseragam, tapi bagaimana bisa?. Mungkin ia memang masih belum mengenal Alex karena ia sendiri hanya tahu gadis itu anak tunggal, bukan anak tunggal yang terjadi setelah satu-satunya saudara kandungnya meninggalkan dunia ini. Aroma tanah saat hujan turun, hujan, cappuccino…mereka memiliki kesukaan yang sama dan perlahan menariknya untuk lebih dekat dengan Alex. Dan ia harus menahan diri untuk tidak langsung menarik Alex ke dalam pelukannya seperti tadi. Sebagian kecil otaknya masih berfungsi mengingatkan dirinya bahwa Alex perlu waktu.“Jadi yang kakak maksud saat itu kau…bukan,” alex menggelengkan kepala dan mengerang frustasi detik berikutnya. “mama benar aku tidak seharusnya…menyukai kekasih Kakak.” Lirih Alex dan menangis keras saat ingatan ucapan ibunya beberapa hari lalu dan sejam yang lalu terbayang di otaknya.“Jangan ketempat itu lagi,” suara lembut ibunya menghentikan langkah Alex saat akan pergi ke kafe sore itu.“kenapa? Kenapa aku tidak boleh ke sana?” tanya Alex dan berbalik menatap ibunya yang kini menunjukan raut wajah..sedih?.“Mama katakan tidak ya tidak Alexis.”Alex tersentak mendengar bentakan ibunya dan ia tidak bisa menemukan kesalahan apa yang ia perbuat hanya karena pergi ke sebuah kafe. “kenapa? Berikan aku alasan yang jelas mama.. Kenapa sejak kemarin kalian menahanku untuk tidak ke kafe itu lagi?”“Jangan membuat mama marah. Sudah cukup.. kau tidak boleh berhubungan dengan orang itu lagi,”“siapa? Siapa maksud mama? aku tidak mengerti.” Desak Alex dan menatap ibunya dengan kening berkerut.“Cukup Alexis.” Tukas ibunya lalu berlalu begitu saja meninggalkannya seperti hari-hari sebelumnya.“Kau akan melanjutkan studimu di London, mama dan papa sudah menyiapkan semuanya.”Alex mengangkat wajahnya, menatap kedua orang tuanya. “London? Kenapa tiba-tiba? Bukankah aku sudah lulus di XXX University dan hanya menunggu kelulusan, lalu kenapa aku harus pergi ke London?”“Itu satu-satunya jalan,” ibunya berdiri dan diikuti ayahnya. “mama tahu apa yang kau kerjakan satu bulan ini alex. Dan mama tidak ingin kau terlalu jauh..”“Terlalu jauh apa? Kenapa aku selalu harus menuruti kemauan kalian.” Sentak Alex dan langsung mendapat tamparan dari ayahnya. Ia terdiam, tidak habis pikir ayahnya bisa melakukan ini padanya. “papa..”“Berhenti mendekatinya lagi.” Kali ini ayahnya ikut melarangannya.Nicki beringsut duduk dan menyandarkan diri pada meja di sampingnya. “Dunia memang sempit bukan?” tanya Nicki yang tentu saja tidak menginginkan jawaban di tengah keheningan ini. Suaranya terdengar serak karena ia sendiri berada di posisi yang sama dengan Alex walaupun mungkin gadis itu mendapat masalah lebih berat. “Kalian mirip…mungkin karena itu kau langsung menarik perhatianku,” Nicki tersenyum pahit. “Maaf. Apa kau mendapat masalah dengan orangtuamu? Mungkin mereka sudah melarangmu untuk bertemu denganku lagi. Bukankah seharusnya kau mendengar mereka?”“Dan untuk kata-katamu sebelumnya,” Nicki menoleh ke arah Alek, menatap gadis itu yang hanya menuduk dan terisak. “Maaf, karena membuatmu menyukaiku…tapi kau hanya harus mendengarkan ini alex..aku juga mencintaimu.”Alex mengangkat wajahnya, menatap Nicki yang memandangnya sedih. Apa ia tidak salah dengar? Apa Nicki baru saja mengatakan Cinta?.“Apa perlu ku ulang?” tanya Nicki melihat keraguan dari wajah Alex. “aku mencintaimu alexis…Kau tahu aku memikirkan ini selama tidak bertemu dengamu beberapa hari lalu, gadis kecil yang membuatku bingung tapi bisa membuatku lupa akan masalah-masalahku…Jangan berpikir aku menyukaimu karena kemiripan kalian, tidak Alex sekalipun kalian memiliki kemiripan tapi kau adalah kau dan dia adalah dia, kalian tetap berbeda,” Nicki memberikan jeda untuk ucapannya, menatap Alex dan menarik tangan gadis itu untuk mendekat ke arahnya. “Tidak apa-apa,” bisik Nicki, lalu merangkulnya. “Aku hanya ingin kau tahu jika perasaanmu tidak bertepuk sebelah tangan…”“Mungkin aku salah sudah menyukaimu kak tapi kenapa mereka sampai ingin menjauhiku darimu.. aku masih tidak mengerti..Apa aku salah menyukai pria yang ternyata mantan pacar kakakku?”“Tidak Alex kau tidak salah sama sekali…mereka mungkin masih berpikir aku secara tidak langsung yang membuat Exsa hari itu kecelakaan-““Bagaimana bisa? Setahuku malam itu kakakku terburu-buru pergi ke bandara untuk menjemput sesorang walaupun hujan tengah turun deras,” Alex mengerejapkan mata, ia mengerti sekarang. Seseorang yang ingin kakanya temui saat itu adalah Nicki tapi kepergian kakanya menjadi malapetaka karena terlibat tabrakan beruntun dan hal ini menjadi salah satu pemicu orangtuanya terlalu mengekangnya.“Kau benar. Exsa ingin menjemputku saat itu karena ia lebih dulu pulang dari Jepang,” Nicki menghela napas berat, menatap kosong ke depan. “Aku sendiri sudah melarang Exsa tapi seperti yang kau tahu ia memiliki sifat keras kepala sepertimu. Dan saat aku mengetahui kepergian Exsa kalian sudah pindah rumah..mungkin Tuhan sengaja mempertemukan kita untuk disaat yang berbeda, kau bukan adik pacarku melainkan seorang gadis penyuka hujan.”Alex mengangguk, sangat mengerti dengan ucapan Nicki. Lalu, dimana letak kesalahan pria itu? Kenapa orangtuannya tidak bisa menerima kepergian saudaranya setelah beberapa tahun terlewatkan, bukankah kematian tidak bisa dicegah dan dimana ucapan yang selama ini ditanamkan orangtuannya tentang saling memaafkan sekalipun disini Nicki tidak salah. “Apa yang harus kita lakukan kakak? Aku tidak ingin pergi.”“Turuti apa kata orangtuamu alex mereka hanya ingin yang terbaik, lagipula kita terpaut usia cukup jauh..jika tidak sebagai pasangan, kau bisa menjadi adik-”“Tidak,” Alex menggenggam erat lengang Nicki, menatap pria itu lekat. “Jangan menganggapku sebagai anak kecil, aku sudah cukup mengerti semuanya.”Nicki tertawa kecil, lalu menepuk kepala Alex. “Terlalu banyak hal yang belum kau mengerti Alex”Sebelum Alex sempat membuka mulut, Nicki cepat-cepat menambahkan, “Kau akan mengerti setelah pemikiranmu cukup matang.” Ia berhenti sejenak, lalu menoleh ke arah Alex, “Jika kau tetap bersikeras, aku bisa menawarkan satu hal.”“Apa?”“Aku akan menunggumu saat kembali, mungkin kedua orangtuamu butuh waktu untuk berpikir. Jadi?”Alex mengerjap satu kali, seolah-olah ia masih tidak menyangka Nicki mengatakan hal yang cukup manis menurutnya..pria itu mau menunggunya. Perlahan ia menghembuskan napas, bukan karena lelah tapi lebih kepada merasa sedikit mendapat angin segar hanya dengan ucapan Nicki. “Em, kupikir mereka memang butuh waktu, tapi apa kau tidak takut jika aku melupakanmu di sana Kakak?”Nicki tersenyum. “Bukankah sebaliknya?”“Apa maksud kakak? Sebaliknya?”Kali ini Nicki tidak bisa menyembunyikan tawanya. “Kau memang masih kecil,”“Ya! Aku sudah besar kak,” kata Alex tidak terima.“Yah,” Nicki mengangguk dan menarik bahu Alex lebih dekat. Ia terdiam sejenak, melihat wajah gadis itu yang terlihat pucat walaupun kini tidak ada tangis lagi. Perlahan ia mengusap sisa-sisa air mata Alex, “Jangan menangis lagi setelah ini,” kata Nicki pelan dan menunduk untuk mencium kening Alex dalam.Alex membuka mata dan mendongak saat ia tanpa sadar menutup matanya begitu Nicki mencium keningnya. Semburat merah tercipta di kedua pipi putih dan hentakan jantungnya mungkin saja terdengar hingga ketelinga Nicki tapi ia memilih untuk tidak peduli. Dia menyentuh pipi Nicki lembut, menatap kesempurnaan wajah pria itu. “trimakasih karena sudah mengenalmu kakak.”Sejenak mereka terdiam tanpa berkedip. Hening. Seolah waktu berhenti saat ini juga dan Nicki tidak bisa menahan diri lagi untuk menarik punggung Alex mendekat ke arahnya lalu memeluk gadis itu lama.
“Ya! Aku bukan anak kecil.”Langit kota Jakarta terlihat mendung, tidak menampakan sedikitpun kata bersahabat tapi Nicki memilih untuk tetap dian di bangku di sebuah taman. Peper bag berisi Lollipop berbagai macam rasa membuat senyum tipis terukir di bibirnya.“Ini untukku bukan?”Nicki mengangkat wajahnya, mengamati Alexis yang berdiri di hadapannya dengan senyum mengembang. Apakah hanya perasaannya saja atau apakah gadis itu memang benar-benar Alex yang ia kenal tiga tahun lalu?.“Kau menepati janjimu kak,” alex menunduk dan mengecup pipi Nicki cepat. “Aku merindukanmu, sungguh.”Nicki berdeham pelan. “London banyak merubahmu.” Ia tersenyum singkat. Lalu menarik Alex untuk duduk bersamanya. “Biar kutebak, kau langsung ke taman ini setelah sampai di Kota ini bukan?. Gadis nakal, seharusnya kau bertemu dengan orangtuamu dulu.”Alex terkekeh, menjatuhkan kepalanya di bahu Nicki. “Aku lebih rindu padamu kakak, kau sendiri yang salah tidak pernah menjengukku di London,”“Dan kau akan merengek untuk ikut pulang bersamaku.” Kata Nicki dan mengusap kepala Alex. “Ku antar pulang sekarang. Seharusnya kau meletakan setumpuk kopermu itu dulu di rumah.”“kakak aku jadi penasaran bagaimana kau bisa membuat orangtuaku mengizinkan kita pacaran.” Alex mendongak dan menemukan Nicki hanya tersenyum. Kedua orangtuannya memang sudah tidak melarang ia berhubangan dengan Nicki lagi sejak satu tahun lalu, tepatnya saat ia masih kuliah di London. Mungkin yang Nicki katakan benar tentang kedua orangtuannya butuh waktu untuk menerima hubungan mereka dan melupakan masalah kakaknya.“Bukankah sudah pernah kukatakan, mereka hanya perlu waktu.” NIcki berdiri. Meraih tangan Alex, membantu gadis itu untuk berdiri. “ayo,”“Tunggu. Lollipopku.” Seru Alex dan mengambil peper bag yang ada di kursi kayu itu.“Sebenarnya kau lebih menginginkan Lollipop itu atau bertemu denganku, Alexis?” tanya Nicki, menggelengkan kepala melihat mata Alex berbinar memandang peper bag berisi banyak lollipop.“Bodoh,”“Bodoh?” ulang Nicki, sedikit mengangkat alisnya.“Ne, kakak bodoh. Mana bisa lollipop dibandingankan denganmu. Sekalipun aku diminta memilih seribu lollipop atau denganmu…tidak perlu berpikir dua kali untuk-““Memilihku,” sela Nicki dan mengacak rambut Alex. “Gadis kecil yang pintar.”“Ya! Aku bukan anak kecil lagi, sudah kukatakan berapa kali.”
END
***“Apa yang kau inginkan saat kita bertemu lagi?”“Sekantong Lollipop,”“Lollipop?”“Kuberitahu kakak. Aku memang menyukai cappuccino tapi tidak lebih besar dari Lollipop.”“Kau memang anak kecil,”